Cara Mengomunikasikan Ide

Hari ini saya membaca salah satu bagian dari buku mengenai penelitian. Bentuk buku itu cukup menarik, yaitu didesain semacam resep. Namun, terus terang saya belum sampai ke bagian resepnya sendiri. Alih-alih, saya baru membaca bagian pengantar dan metodologi-nya saja. Intinya, kedua bagian itu rasanya bukan bagian yang paling menarik dari buku tersebut. Apabila ingin mengetahui bagian intinya, maka sabar dulu ya, hehe.

Kendati bukan bagian paling menarik, namun pengantar dan metode penulisan buku itu cukup membuat saya berpikir. Salah satu di antara yang masih teringat di benak adalah bagaimana para peneliti menulis untuk menyampaikan gagasan yang ada di otaknya. Bisa Anda bayangkan betapa kompleksnya proses ini.

Para peneliti tersebut berkutat dengan berbagai hal yang rumit. Sebut saja misalnya matematika, kimia, atau fenomena sosial kemasyarakatan yang terjadi di sekitarnya. Meraka pun kemudian mulai mencari permasalahan untuk penelitiannya, dilanjutkan dengan merumuskan pertanyaan untuk menjawab persoalan tersebut. Setelah itu, dirancang metode untuk melakukan penelitian dari mulai melakukan telaah pustaka sampai dengan metode pengumpulan data serta analisis data dan menyimpulkan hasil atau rekomendasi.

Silakan baca juga: Cara Mengatasi Kebuntuan Ide untuk Menulis

Di antara rangkaian penelitian tersebut, barangkali yang lebih banyak bekerja dengan otak untuk mematangkan ide adalah di bagian awal. Bagaimana peneliti menemukan permasalahan kemudian merumuskan menjadi pertanyaan penelitian.

Namun, lazimnya otak manusia, maka akan berkelindan di sana berbagai ingatan, harapan, rencana, dan hal-hal lain yang barangkali akan memengaruhi ide-ide yang muncul. Dalam hal ini, barangkali tingkat pendidikan dan pengalaman juga akan turut campur. Oleh sebab itu, maka ide yang awalnya sederhana bisa menjadi sedemikian rumit. Hasil akhirnya tentu akan makin memperumit dan mempersulit manakala ide tersebut harus disampaikan ke orang lain.

Sebuah ide akan berguna dan bermanfaat jika dikomunikasikan. Artinya, dikeluarkan dari otak si peneliti ke khalayak ramai. Bisa saja hal itu dilakukan dalam rangka untuk mendapatkan dana bagi penelitian, tugas sekolah, atau keperluan yang lain. Melihat berbagai kepentingan ini, maka sekali lagi, mengkomunikasikan ide menjadi sangat penting.

Nah, pertanyaannya, bagaimana menyampaikan apa yang ada di kepala kita kepada orang lain? Bagaimana membuat orang mengerti ide-ide yang ada di kepala kita?

Kembali ke buku yang saya sebutkan di bagian awal, maka cara yang bisa dilakukan adalah dengan menuliskannya. Menulis di sini memegang peranan penting untuk menerjemahkan berbagai ide yang ada di kepala seorang peneliti agar bisa dibaca oleh orang lain.

Sayangnya, menulis ini pun tidak mudah. Perlu koordinasi yang baik antara otak, tangan, jemari, dan juga mata. Setelah itu, perlu cara agar tulisan yang dihasilkan bisa dipahami oleh orang lain. Menjadi tidak mudah bila kita berbagi dengan orang lain berdasarkan tulisan tangan saya, misalnya, yang jelas-jelas tidak rapi, tapi bisa saya baca. Namun, apakah orang lain bisa membacanya?

Teknologi digital membantu memecahkan permasalahan tersebut. Kita tinggal mengetikkan saja apa yang ada di otak kita ke tuts-tuts keyboard dan mata kita melihat hasil ketikan di layar. Proses yang berbeda dialami oleh pembaca, manakala dia memandang layar, membedakan gelap dan terang di layar, untuk kemudian mencoba memahami ide yang disampaikan oleh penulis.

Pemahaman ide tersebut, kendati sedikit dibantu oleh hadirnya teknologi digital, namun tetap saja bukanlah persoalan yang mudah. Sebab, seperti diilustrasikan di atas, prosesnya sangat panjang antara penulis menuangkan ide dan pembaca memahami dan menangkap maksud dari tulisan.

Saat ini, konsentrasi saya adalah menuliskan berbagai hal yang ada di kepala saya.

Dalam melakukannya, saya mengikuti satu langkah yang dilakukan oleh seorang peneliti di dalam buku tersebut. Langkah itu adalah dengan menuliskan begitu saja apa yang terlintas di benak saya. Hal ini dilakukan dengan tanpa melihat jemari yang menari-nari di atas tuts keyboard, namun langsung melihat hasil tulisan yang ada di layar.

Mengetik bukan satu persoalan yang besar untuk saya, syukurlah letak-letak huruf yang ada di papan ketik sudah saya hapal benar. Jemari saya seperti bergerak sendiri untuk mencari huruf yang diinginkan untuk membentuk kata. Namun begitu, saya masih memiliki keinginan yang besar untuk mengedit kesalahan-kesalahan kecil, seperti salah ketik. Tak hanya itu, seringkali saya juga ingin membaca kalimat yang baru saja dituliskan untuk mengetahui sudah benar atau belum. Hal itu memperlambat transfer ide dari otak saya ke tulisan yang sedang Anda baca.

Saya belum tahu bagaimana untuk menghilangkan kebiasaan mengedit tersebut. Namun, setidaknya saya berusaha untuk meminimalisir mengedit saat menulis. Nah, tulisan yang sedang Anda baca ini adalah hasil dari proses menulis langsung apa yang terlintas di kepala ke layar. Saya yakin banyak kesalahan dan pengulangan kata, namun bagaimana menurut Anda?

Salam hangat!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menulis untuk Memancarkan Pesan

Menulis Menyampaikan Suara Sang Penyair

Menulis adalah Latihan Tanpa Henti